Rabu, 09 Maret 2011

Strategi Penemuan Induktif dan Deduktif

Strategi Penemuan Induktif

Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu (Cooney dan Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisamembuktikan dalil untuk mendukung. Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir bias dipastikan atau mungkin terjadi. Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh pokok-pokok.
Perhatikanlah strategi penemuan berikut ini :
Guru : sekarang kita akan “menguji” hubungan yang merupakan tantangan matematika. Untuk memulai, mari kita mengikuti pernyataan berikut.
20 = 17 + 3
22 = 19 + 3
24 = 17 + 7
26 = 13 + 13
28 = 17 + 11
Apakah kalian mencatat pola dari pernyataan tersebut?
Lala : “Bilangan di sisi kiri semua bilangan dua puluhan.”
Guru : “Baik. Bagaimana dengan pertambahan di sebelah kanan?”
Vivi : “Semuanya bilangan ganjil.”
Guru : “Benar, tapi dapatkah kalian menyatakan yang lain tentangnya, di samping fakta bahwa itu bilangan ganjil?”
Vivi : “Baik. Bilangan itu prima.”
Guru : “Sangat bagus, dapatkah seseorang dari kalian meringkas pernyataan?”
Anis : “Beberapa bilangan dua puluhan merupakan pertambahan dari dua bilangan prima.”
Guru : “Apakah kalian berpikir ini akan berlaku untuk bilangan yang lain?”
Aldi : “Aku tidak yakin.”
Guru : “Mari kita coba untuk beberapa contoh, katakanlah 30 atau 10 atau 52.”
Sari : “Tiga puluh sama dengan 27 ditambah 3.”
Guru : “Apakah ini mengikuti pola yang sama Dian?”
Dian : “Tidak, 27 bukan bilangan prima.”
Sari : “Benar, aku lupa. 30 sama dengan 17 ditambah 13”
Guru : “Bagaimanakah dengan 10 dan 52?”
Vian : ”Sepuluh sama dengan 7 ditambah 3 dan 52 sama dengan 47 ditambah 5.”
Guru : ”Baik, setiap siswa ambil tiga contoh bilangan lain dan cobalah. (berhenti). Sudahkah kalian menemukan dan dapatkah kalian mengungkapkannya?”
Dude : “Empat sama dengan 2 ditambah 2, tapi 2 bukan bilangan prima yang ganjil.”
Guru : “Bagaimana dengan 3 ditambah 1? Ini juga sama dengan 4.”
Dude : “Satu bukan bilangan prima.”
Guru : “O.K. Bagaimana dengan 6? Apakah ada yang sudah mencobanya?”
Ita : “Itu mudah, 3 ditambah 3”
Guru : “Apakah kalian sudah menyimpulkan mengenai bilangan genap dan bilangan prima ganjil?”
Ida : “Baik, setiap bilangan genap yang lebih dari 4 adalah sama dengan pertambahan dua bilangan prima ganjil.”
Guru : “Sangat bagus.
Ini statemen yang sangat terkenal yang disebut dugaan Goldbach. Tidak seorangpun yang telah menemukan, meskipun matematikawan tidak mampu membuktikan itu. Untuk alasan ini kita cenderung percaya bahwa statemen ini benar.”

Strategi Penemuan Deduktif

Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran.
Sebagai contoh dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem persamaan dengan menggunakan determinan koefisien dari dua garis yang sejajar dengan penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah penarikan kesimpulan tertentu
Guru : “Dengan aturan Cramer untuk memecahkan sistem persamaan ini :
3x – 2y = 6
–9x + 6y = –3
Apa yang kamu peroleh Agus ?”
Agus : “Untuk Dx didapat 30, untuk Dy didapat 45, tetapi untuk D didapat nol”
Guru : “Benar, kemudian apa solusimu?”
Agus : “Saya tidak tahu”
Guru : “Dapatkah yang lain memberitahuku hasilnya?”
Budi : “Saya rasa tidak ada.”
Guru : “Kenapa tidak ada?”
Budi : “Baik 30/0 dan 45/0 tidak ada hasilnya.”
Guru : “Benar, ketika kita membagi dengan 0, kita tidak memperoleh hasil. Dapatkah seorang diantara kalian memberitahu penafsiran geometris dari hasil ini?”
Dita : “Bentuk grafiknya dari dua garis sejajar”
Guru : “Siswa yang lain setuju? Baik. Jika kita punya satu pasang garis sejajar, seharusnya determinan koefisien dari variabel yang sama dengan nol.
Mari sekarang kita selidiki secara umumnya. Dari a1x + b1y = c1 Tulislah sebuah persamaan dari sebuah garis yang sejajar dengan garis ini?”
Tuti : ”ma1x + mb1y = d”
Guru : ”Menulis kedua persamaan di papan tulis. Berapa m?”
Tuti : “Semua bilangan real kecuali nol.”
Guru : “O.K. Mengapa kamu mengatakan d dan bukan mc1?”
Tuti : “Karena ini akan mewakili garis yang sama.”
Guru : “Sangat bagus! Apa determinan yang dibentuk dari koefisien x dan y dari dua garis yangsejajar itu?”
Andi : “a1.mb1 – ma1.b1
Guru : “Itu akan sama dengan berapa?”
Andi : “Nol.”
Guru : “Apakah yang dapat kita katakan dalam hal ini ? Apakah yang dapat kita simpulkan?”

Dari contoh-contoh dialog tersebut di atas metode ini tepat digunakan apabila (Martinis Yamin, 2004: 78) :
1.      siswa telah mengenal atau mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan pokok bahasan yang akan diajarkan
2.       yang akan diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan dan pengambilan keputusan
3.      guru mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil mengulang pertanyaan dan sabar
4.      waktu yang tersedia cukup panjang
Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui peristiwa nyata atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika Dengan penjelasan di atas metode penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian dikembangkan dalam suatu model pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran dengan penemuan terbimbing. Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan karakteristik
matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang
dipelajari. Dengan model penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan ketrampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.

Metode Penemuan Terbimbing dalam Pembelajaran Matematika

Sebelum membahas Model Penemuan Terbimbing, ada baiknya terlebih dahulu kita tinjau sejenak Model Penemuan Murni. Dalam Model Penemuan Murni, yang oleh Maier (1995: 8) disebutnya sebagai “heuristik“, apa yang hendak ditemukan, jalan atau proses semata-mata ditentukan oleh siswa itu sendiri. Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis:1975,138), penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
Sebagai ilustrasi bagaimana Bruner menerangkan dengan contoh suatu pelajaran penemuan dapat ditemukan di dalam bukunya Toward a Theory of Instruction (1966: 59-68). Ilustrasi tersebut menunjukkan bagaimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu persegi dengan ukuran x dan persegi-persegi satuan. Siswa harus membangun persegi dengan sebanyak potongan persegi-persegi satuan yang diperlukan. Para siswa diharapkan dapat menduga suatu kesimpulan mengenai binomial serta melihat hubungannya dengan melihat potongan persegi dengan ukuran x dan persegi satuan.
Dalam kegiatan pembelajarannya siswa diarahkan untuk menemukan sesuatu, merumuskan suatu hipotesa, atau menarik suatu kesimpulan sendiri. Kadang-kadang model penemuan ini memerlukan waktu lebih lama untuk seluruh kelas atau kelompok kecil siswa dalam menemukan suatu obyek matematika dari pada menyajikan obyek tersebut kepada mereka. Metode Penemuan Murni ini kurang tepat karena pada umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya. Di samping itu, penemuan tanpa bimbingan dapat memakan waktu berhari-hari dalam pelaksanaannya atau bahkan siswa tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu, begitu pula jalannya penemuan. Jelas bahwa model penemuan ini kurang tepat untuk siswa sekolah dasar maupun lanjutan apabila tidak dengan bimbingan guru, karena materi matematika yang ada dalam kurikulum tidak banyak yang dapat dipelajari karena kekurangan waktu bahkan siswa cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri. Mengingat hal tersebut timbul metoda pembelajaran dengan penemuan yang dipandu oleh guru
Metode penemuan yang dipandu oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda Socratic (Cooney, Davis:1975, 136). Metode ini melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur oleh guru. Salah satu buku yang pertama menggunakan teknik penemuan terbimbing adalah tentang aritmetika oleh Warren Colburn yang pelajaran pertamanya berjudul: Intellectual Arithmetic upon the Inductive Method of Instruction, diterbitkan pada tahun 1821, yang isinya menekankan penggunaan suatu urutan pertanyaan dalam mengembangkan konsep dan prinsip matematika. Ini menirukan metode Socratic di mana Socrates dengan pertolongan pertanyaan yang ia tanyakan dimungkinkan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Interaksi dalam metode ini menekankan pada adanya interaksi dalam kegiatan belajar mengajar. Interaksi tersebut dapat juga terjadi antara siswa dengan siswa (S – S), siswa dengan bahan ajar (S – B), siswa dengan guru (S – G), siswa dengan bahan ajar dan siswa (S – B – S) dan siswa dengan bahan ajar dan guru (S – B – G). Interaksi yang mungkin terjadi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Interaksi dapat pula dilakukan antara siswa baik dalam kelompok-kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas). Dalam melakukan aktivitas atau penemuan dalam kelompok- kelompok kecil, siswa berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi ini dapat berupa saling sharing atau siswa yang lemah bertanya dan dijelaskan oleh siswa yang lebih pandai. Kondisi semacam ini selain akan berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika, juga akan dapat meningkatkan social skills siswa, sehingga interaksi merupakan aspek penting dalam pembelajaran matematika.
Menurut Burscheid dan Struve (Voigt, 1996:23), belajar konsep-konsep teoritis di sekolah, tidak cukup hanya dengan memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu adanya social impuls di sekolah sehingga siswa dapat mengkonstruksikan konsep-konsep teoritis seperti yang diinginkan. Interaksi dapat terjadi antar guru dengan siswa tertentu, dengan beberapa siswa, atau serentak dengan semua siswa dalam kelas. Tujuannya untuk saling mempengaruhi berpikir masing-masing, guru memancing berpikir siswa yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan terfokus sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan mengkontruksikan konsep-konsep tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan sesuatu untuk memecahkan masalah. Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif, deduktif atau keduanya.


Langkah–langkah dalam Penemuan Terbimbing
Agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut.
1.      Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
2.      Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
3.      Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
4.      Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
5.      Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunya. Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
6.      Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
Memperhatikan Model Penemuan Terbimbing tersebut diatas dapat disampaikan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Kelebihan dari Model Penemuan Terbimbing adalah sebagai berikut:
1.      Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
2.      Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan)
3.      Mendukung kemampuan problem solving siswa.
4.      Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
5.      Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya (Marzano, 1992)
Sementara itu kekurangannya adalah sebagai berikut :
1.      Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
2.      Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
3.      Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan Model Penemuan Terbimbing.

Belajar Pengetahuan Prosedural

Strategi yang digunakan untuk pengetahuan prosedural adalah latihan yang diikuti dengan umpan balik. Umpan balik tidak hanya memperlihatkan apakah yang dilakukan itu betul, tetapi juga, apabila jawabannya tidak betul, harus ditunjukan  mana dari jawaban itu yang tidak betul, dan mana bagian yang betul.
Pengetahuan prosedural, atau mengetahui bagaimana, mendasari penampilan intelektual yang rutin dan trampil. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang tidak perlu dicari dalam memori jangka-panjang
Cara Memperoleh Pengetahuan Prosedural
1.      Prosedur pengenalan Pola dan Urutan Aksi
  • penyajian pengetahuan yang mendasari tindakan terhadap butir-butir tes disebut suatu prosedur pengenalan pola, sebab prosedur itu mencari suatu pola stimulus tertentu.
  • sedangkan penyajian pengetahuan yang mendasari tindakan terhadap butir-butir tes disebut prosedur urutan aksi sebab prosedur itu dilaksanakan secara urut atau satu seri aksi-aksi
2.      Perolehan Prosedur-prosedur Pengenalan Pola
·        Generalisasi pada pengenalan pola
Yaitu respon yang diberikan seseorang dengan cara yang serupa pada stimulus-stimulus yang berbeda.
  • Diskriminasi pada pengenalan pola
Pengurangan dari proses generalisasi di atas agar terbentuk pemahaman yang baru dan yang lebih baik.
3.      Perolehan Prosedur-prosedur Urutan Aksi
Yaitu kegiatan yang diawali langkah-langkah (urutan) kemudian dilanjutkan tingkah laku yang berkesesuaian dengan urutan-urutan tersebut yang disebut Aksi.
Kompilasi Pengetahuan
            yaitu, proses perubahan dari tindakan suatu urutan aksi-aksi yang dibimbing oleh pengetahuan deklaratif ke tindakan yang dibimbing oleh pengetahuan prosedural.
            Kompilasi pengetahuan dikatakan terdiri atas dua sub-proses proseduralisasi dan komposisi. Proseduralisasi ialah pengguguran perangsang-perangsang dari pengetahuan deklaratif, sedangkan komposisi ialah penggabungan beberapa prosedur menjadi satu prosedur.
Perbedaan antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural atau pengetahuan apa dan pengetahuan bagaimana dikemukakan pula oleh beberapa ahli lainnya, misalnya Robert Gagne, The Conditions of Learning (1977), Gagne mengungkapkan perbedaan antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural sebagai berikut. Kita mengetahui bahwa seorang telah belajar informasi verbal bila ia dapat bercerita tentang informasi itu atau menyatakan informasi itu. Informasi itu disebut informasi verbal, karena kita mengetahuinya dalam kalimat. Seorang telah belajar suatu ketrampilan intelektual, bila ia mengetahui bagaimana melakukan sesuatu sebagai lawan dari mengetahui apa sesuatu itu.
Fase-fase yang terdapat dalam penggunaan siklus belajar
*      Fase Eksplorasi
*      Fase Konsep
*      Fase Aplikasi
KEMAMPUAN-KEMAMPUAN MENURUT GAGNE
1.      Keterampilan Intelektual
2.      Strategi-Strategi Kognitif
3.      Informasi Verbal
4.      Sikap-Sikap
FASE KEJADIAN-KEJADIAN BELAJAR
1.      Motivasi
2.      Fase Pengenalan ( Apprehending Phase )
3.      Fase Perolehan ( Aquisition Phase )
4.      Fase Retensi
5.      Fase Pemanggilan ( Recall )
6.      Fase Generlisasi
7.      Fase Penampilan
8.      Fase Umpan Balik
KEJADIAN-KEJADIAN INSTRUKSI
1.      Mengaktifkan motivasi
2.      Memberitahu tujuan-tujuan belajar
3.      Mengarahkan perhatian
4.      Merangsang ingatan tentang pelajaran yang telah lampau
5.      Menyediakan bimbingan belajar
6.      Melancarkan retensi
7.      Membantu trasfer belajar
8.      Memperlihatkan penampilan dan memberikan umpan balik
GAMBARAN MENTAL ( IMAGES )
ΕΎ     Gambran mental menyajikan informasi secara kontinu, tidak secara diskrit. Gambaran mental merupakan penyajian analog dan digunakan dalam memori kerja untuk memikir hal-hal yang mempunyai dimensi spasial dan juga untuk memikirkan dimensi abstrak.


Metode Laboratorium dalam Pembelajaran Matematika

Salah satu metode mengajar adalah metode laboratorium. Dalam kegiatan pembelajaran, dimana telah tersedia fasilitas dan sumber belajar yang menarik dan cukup untuk mendukung kelancaran kegiatan belajar mengajar maka hal itu juga akan menumbuhkan semangat belajar peserta didik. Kondisi yang semacam itu memungkinkan digunakannya metode laboratorium dalam pembelajaran. Karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka segala sesuatu memerlukan eksperimentasi. Termasuk matematika yang pada hakikatnya merupakan suatu ilmu yang di adakan atas akal (rasio) yang berhubungan dengan benda-benda / objek pikiran yang abstrak. Begitu juga dalam cara mengajar guru dikelas digunakan metode laboratorium.
a.       Pengertian Metode Laboratorium
Yang dimaksud metode laboratorium adalah salah satu cara mengajar guru, dimana siswa melakukan suatu percobaan tentang suatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hal percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan dikelas dan di evaluasi oleh guru. Pembelajaran matematika dengan metode laboratorium berdasarkan " Belajar " dengan " Berbuat " dan berlanjut dari konkrit ke abstrak. Oleh karenanya tujuan pembelajaran dalam bidang kognitif, afektif dan psikomotor dapat tercapai. Dengan metode ini dimaksudkan membimbing siswa untuk menemukan fakta-fakta dalam matematika dan mengaplikasikan pengetahuannya. Dalam hal tertentu metode ini merupakan perluasan dari metode induktif.
Pembelajaran dengan metode ini memeng lebih tepat jika dilaksanakan di laboratorium matematika (labmat) atau workshop matematika, tetapi dapat pula dilaksanakan diruang kelas. Adanya labmat atau workshop matematika sangat penting manfaatnya dan merupakan lingkungan yang baik bagi siswa untuk belajar meneliti, menemukan pola atau rumus, mengaplikasikan konsep atau melakukan permainan. Labmat dapat digunakan untuk menyimpan alat-alat pengajaran matematika baik yang berupa alat-alat permainan, bangun-bangun geometri, sampai alat audio visual maupun sebagai tempat praktikum komputer.
b.      Tujuan Penggunaan Metode Laboratorium
Penggunaan teknik ini mempunyai tujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan mengadakan percobaan sendiri. Juga siswa dapat terlatih dalam cara berpikir yang ilmiah (scientific thinking). Dengan eksperimen siswa menemukan bukti kebenaran dari teori sesuatu yang sedang dipelajarinya. Metode ini juga memberikan pemahaman kepada siswa dalam bidang kognitif, afektif dan psikomotor. Serta membimbing siswa untuk menemukan fakta-fakta dalam matematika serta mengaplikasikan pengetahuannya dalan kehidupan sehari-hari. Bila peserta didik telah mengetahui tujuan dari pembelajaran yang sedang mereka ikuti, maka mereka akan terdorong untuk melaksanakan kegiatan tersebut secara aktif. Oleh karena itu pada setiap awal kegiatan guru berkewajiban memberi penjelasan kepada peserta didik tentang apa dan untuk apa materi pelajaran itu harus mereka pelajari.
c.       Kelebihan dan Kelemahan Metode Laboratorium
Pada dasarnya tidak ada metode mengajar yang paling sempurna, paling baik atau jelek. Setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing yang tentunya berbeda dengan metode lainnya.
Adapun kelebihan dari metode laboratorium antara lain :
1.      Anak didik dapat aktif mengambil bagian berbuat untuk diri sendiri. Ia tidak hanya melihat orang lain menyelesaikan suatu eksperimen, tetapi juga dengan berbuat sendiri ia memperoleh kepandaian-kepandaian yang diperlukan.
2.      Ia mendapat kesempatan yang sebesar-besarnya untuk melaksanakan langkah-langkah dalam cara-cara berpikir ilmiah. Ramalan / hipotesa dapat di uji kebenarannya dengan menyimpilkan data hasil percobaan kemudian ia menafsirkan dan membuat kesimpulan.
3.      Mereka lebih aktif berpikir dan berbuat, yang man itu sangat dikehendaki oleh kegiatan mengajar belajar yang modern, dimana siswa lebih banyak aktif belajar sendiri dengan bimbingan guru.
4.      Menarik dan menyenangkan bagi siswa kelas rendah
5.      prinsip psikologi terpenuhi
6.      Siswa dapat memperoleh fakta-fakta yang jelas
7.      memupuk percaya diri
8.      Memupuk keberanian untuk berbuat
9.      Memupuk kemampuan untuk menerapkan matematika dalam kehidupannya
Metode laboratorium juga memiliki kelemahan, di antaranya :
1.      Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak mendapatkan kesempatan untuk melakukan percobaan
2.      Jika percobaan memerlukan jangka waktu yang lama, ia harus menanti untuk melanjutkan pelajaran
3.      Kurangnya persiapan dan pengalaman anak didik akan menimbulkan kesulitan didalam melakukan percobaan
4.      hanya mampu memperkenalkan fakta-fakta kepada siswa tetapi tidak dapat kemampuan yang lebih tinggi
5.      Tidak semua topik dapat di ajarkan dengan metode ini
6.      Memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit
7.      Memerlukan perencanaan yang rumit dan matang dari guru yang akan mengajar
8.      Untuk pembelajaran matematika tidak dapat menghasilkan ketrampilan dan latihan berpikir yang benar
d.      Prosedur Pelaksanaan Metode Laboratorium
Prosedur-prosedur dalam metode laboratorium adalah :
1.      Perlu dijelaskan kepada siswa tentang tujuan percobaan, mereka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melalui percobaan
2.      Kepada siswa perlu diterangkan pula tentang :
a)      Alat-alat serta bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan. Alat itu bisa berupa alat peraga yang digunakan dalam pengajaran.
Alat peraga pengajaran adalah alat-alat yang digunakan oleh guru ketika mengajar untuk membantu memperjelas materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa dan mencegah terjadinya verbalisme pada diri siswa. Pelajaran yang banyak menggunakan verbalisme tentu akan segera membosankan, sebaliknya pengajaran akan lebih menarik bila siswa gembira atau senang karena meraka merasa tertarik dan mengerti pelajaran yang diterimanya. Belajar akan lebih efektif jika dibantu alat peraga pengajaran dari pada siswa belajar tanpa dibantu alat peraga.
Dalam pemilihan alat peraga yang hendak digunakan oleh guru haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  • Alat-alat yang dipilih harus sesuai dengan kematangan dan pengalaman siswa serta individual dalam kelompok 
  • Alat yang dipilih harus tepat, memadai dan mudah digunakan 
  • Harus direncanakan dengan teliti dan diperiksa lebih dahulu 
  • Penggunaan alat peraga harus disertai dengan kelanjutannya seperti diskusi, analisis dan evaluasi 
  • Sesuai dengan batas kemampuan biaya (M. Uzer, 1985 : 27). Sedangkan alat peraga banyak macam dan ragamnya, guru harus menyesuaikan dengan mata pelajaran dan pokok bahasan yang di ajarkan.